Guswanda Putra, S.Pi, Pemerhati Kebijakan Publik
RIAU1.COM - Hari Antikorupsi Sedunia (HAKORDIA) pada 9 Desember semestinya menjadi ajang refleksi nasional untuk mengukur efektivitas dan integritas upaya pemberantasan korupsi. Ironisnya, di tengah peringatan ini, perhatian publik justru teralih pada penanganan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang melibatkan Gubernur Riau. Alih-alih mendapatkan keyakinan akan penegakan hukum yang kuat, publik malah disajikan kesan yang mengkhawatirkan: dugaan pemaksaan kasus dan lemahnya kualitas bukti permulaan.
Kontradiksi dalam Semangat OTT Berdasarkan Hukum Acara
OTT adalah instrumen andalan KPK yang paling sering mendapat aplaus publik. Namun, dalam kasus OTT Gubri, muncul keganjilan yang mereduksi bobot operasi tersebut.
Secara yuridis, OTT harus didasarkan pada kondisi Tertangkap Tangan yang didefinisikan ketat oleh Pasal 1 angka 19 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP):
"...tertangkapnya seseorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah tindak pidana itu dilakukan..."
Jika penangkapan terjadi, namun proses penetapan tersangka dan penyidikan terkesan tergesa-gesa—bahkan membutuhkan waktu dan upaya ekstra untuk "mengamankan" alat bukti setelah penangkapan—maka timbul pertanyaan serius: Apakah OTT ini benar-benar didasarkan pada tertangkap tangan atau sekadar dijebak untuk kepentingan narasi publik?
Kualitas Bukti: Melawan Prinsip Due Process of Law
Kekhawatiran publik ini didukung oleh kritik dari kalangan akademisi. Guru Besar Hukum Pidana, Prof. Ramli Atmasasmita, pernah mengungkapkan bahwa praktik OTT KPK sering dilakukan ketika calon tersangka tidak sedang melakukan tindak pidana atau tidak melekatnya barang bukti yang cukup.
Jika kasus Gubri terkesan dipaksakan untuk membangun konstruksi hukum, ini menunjukkan adanya pergeseran fokus KPK dari penegakan hukum berbasis bukti ke populisme penindakan.
"Menahan seseorang tanpa bukti permulaan yang cukup, lalu mencari bukti setelah penahanan, adalah bentuk pelanggaran hak asasi dan mencederai asas praduga tak bersalah. Ini membuat proses penegakan hukum menjadi ‘Trial by Ambush’."
Kewajiban KPK untuk memiliki bukti permulaan yang cukup (sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah) sebelum penetapan tersangka dijamin oleh Pasal 184 KUHAP. Kepastian ini bahkan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 21/PUU-XII/2014 yang memperluas objek praperadilan hingga mencakup penetapan tersangka. Jika bukti dicari setelah penahanan, proses ini rentan dibatalkan melalui praperadilan, yang pada akhirnya akan melumpuhkan kredibilitas KPK itu sendiri.
Kritik Keras: Penanganan kasus yang terkesan dipaksakan hanya akan menimbulkan efek "korupsi prosedural" di tubuh penegak hukum itu sendiri. Prioritas KPK seakan beralih dari kualitas penuntutan menjadi kuantitas headline berita.
Mendesak Pengembalian Integritas Proses Berlandaskan UU
Pada Hari Antikorupsi Sedunia ini, kita harus mendesak KPK untuk kembali pada visi aslinya: profesionalisme, akuntabilitas, dan integritas dalam setiap tahapan penanganan kasus.
1. Stop Pemaksaan Konstruksi: KPK harus memastikan bahwa penetapan tersangka didasarkan pada bukti yang solid yang telah ada sebelum penangkapan, sesuai dengan semangat Pasal 44 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 (tentang KPK) yang mensyaratkan bukti permulaan yang cukup untuk memulai penyidikan.
2. Fokus pada Akarnya: Pemberantasan korupsi harus bergeser dari sekadar "memanen" kepala daerah (kasus petty corruption) menjadi reformasi sistemik dan penanganan korupsi skala besar (grand corruption).
Penutup:
Jika KPK terus menggunakan praktik yang mengesankan pemaksaan kasus, seperti yang diduga terjadi dalam kasus OTT Gubri, maka peringatan 9 Desember akan terasa hampa. Integritas pemberantasan korupsi tidak terletak pada jumlah tersangka yang ditahan, melainkan pada kejernihan, keadilan, dan kepastian hukum dari setiap proses yang dijalankan. Kita menggugat, bukan untuk membela terduga koruptor, tetapi untuk menyelamatkan integritas KPK sebagai pilar utama check and balance bangsa ini.
Oleh: [Guswanda Putra, S.Pi, Pemerhati Kebijakan Publik]