Ilustrasi/Net
RIAU1.COM - Pemerhati Anak dan Pendidikan, Retno Listyarti, menilai apa yang dilakukan Australia dengan membatasi anak di bawah usia 16 tahun memiliki akun media sosial adalah langkah yang tepat.
Menurut Retno, perkembangan teknologi yang melaju kencang membuat anak-anak berada dalam posisi rentan. Pertukaran informasi yang terjadi tanpa batas membuka peluang paparan negatif, dari konten radikal hingga penyimpangan seksual.
Ia mengingatkan bahwa bentuk kejahatan tak hanya terjadi di platform medsos, tetapi juga di game online yang banyak dimainkan anak-anak. Pelaku menyasar anak melalui berbagai celah, mulai dari obrolan game, DM (direct message), hingga ruang percakapan publik. Bentuk kejahatannya pun beragam, mulai dari penyebaran konten radikal, konten seksual, hingga grooming dan kekerasan seksual.
Kekhawatiran itu makin besar ketika orang tua yang memberi gadget terlalu cepat pada anak, bahkan sebelum usia 2 tahun tanpa pendampingan. Banyak pula orang tua yang membiarkan anak bermain game online berjam-jam tanpa kontrol atau edukasi.
“Predator anak itu masuknya melalui media sosial. Mereka menangkap anak-anak yang sedang kesepian, butuh perhatian, gampang galau. Itu yang jadi sasaran,” ujarnya.
Tak sedikit kasus kekerasan seksual daring di Indonesia yang terjadi karena anak mudah dijangkau pelaku lewat ruang digital. Indonesia sendiri, lanjut Retno, masuk dalam 10 besar negara dengan jumlah korban anak tertinggi dalam kasus kekerasan seksual online.
Karena itu, menurutnya, pembatasan usia pengguna media sosial seperti Australia seharusnya juga bisa diterapkan di Indonesia, terutama untuk melindungi anak di saat orang tua tidak memiliki cukup waktu atau kemampuan mengawasi aktivitas digital mereka.
Australia bukan satu-satunya negara yang memberlakukan pembatasan usia. Retno menyebut sejumlah negara lain seperti Denmark dan Malaysia juga mulai akan menerapkan pembatasan usia anak memiliki akun media sosial. Negara-negara tersebut tegas karena mereka melihat adanya bahaya nyata bagi anak di ruang digital.
Sementara Indonesia, kini sudah memiliki PP Tunas (PP No. 17 Tahun 2025) yang mengatur perlindungan anak di ranah digital. Namun, sanksinya dinilai belum memberikan efek jera yang cukup kuat apabila dibandingkan Australia yang mengenakan denda hingga 49,5 juta dolar Australia atau setara Rp 548 miliar bagi platform yang tetap memberi akses kepada anak di bawah umur.
“Untuk melindungi anak-anak, ketika orang tua tidak berdaya, memang negara harus hadir,” ujar Retno.*