Kucuran Dana Rp 200 T ke Bank Berpotensi Langgar Konstitusi

17 September 2025
Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbin/Kompas.id

Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbin/Kompas.id

RIAU1.COM - Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, menyampaikan kucuran dana pemerintah yang mengendap di Bank Indonesia (BI) sebesar Rp 200 triliun untuk disalurkan perbankan menjadi kredit, berpotensi melanggar konstitusi.

Didik mengatakan, kebijakan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa ini juga melanggar 3 undang-undang sekaligus, sehingga dia meminta Presiden Prabowo Subianto menghentikan kebijakan ini.

"Kita tidak boleh melakukan pelemahan aturan main dan kelembagaan seperti yang dilakukan pemerintahan sebelumnya," katanya dalam keterangan tertulis yang dimuat Kumparan, Selasa (16/9).

Didik menilai, program tersebut harus dimulai dari proses legislasi yang baik melalui APBN dan diajukan dengan sistematis berapa jumlah yang diperlukan dan program apa saja yang akan dijalankan.

Ia menjelaskan, proses penyusunan, penetapan dan alokasi APBN diatur oleh UUD 1945 Pasal 23, UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, dan UU APBN setiap tahun. 

Menurutnya, prosedur resmi dan aturan main ketatanegaraan harus dijalankan karena anggaran negara masuk ke dalam ranah publik, bukan anggaran privat atau perusahaan.

"Kebijakan spontan pengalihan anggaran negara Rp 200 triliun ke perbankan dan kemudian masuk ke kredit perusahaan, industri atau individu merupakan kebijakan yang melanggar prosedur yang diatur oleh undang-undang Keuangan Negara dan Undang-Undang APBN, yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar," ungkap Didik.

Didik berpendapat bahwa proses kebijakan yang benar harus dijalankan berdasarkan aturan main, sebab jika tidak akan menjadi preseden anggaran publik dipakai seenaknya di masa mendatang.

"Semau gue dan sekehendak pejabatnya secara individu. Alokasi anggaran negara tidak bisa dijalankan atas perintah menteri atau perintah presiden sekalipun," imbuhnya.

Pejabat-pejabat negara, kata Didik, harus menaati aturan dan menjalankan kebijakan sesuai rencana kerja pemerintah (RKP), yang datang dari Kementerian Lembaga dan pemerintah daerah, sehingga tidak ada program yang datang di tengah-tengah semaunya.

Selain itu, program-program yang disusun teratur dalam Nota Keuangan secara resmi diajukan oleh pemerintah kepada DPR. Sebab, anggaran negara adalah ranah publik, maka proses politik dijalankan bersama oleh DPR dengan pembahasan-pembahasan di setiap komisi dengan menteri-menteri, serta Badan Anggaran dengan Menteri Keuangan.

"Setiap program yang menjalankan anggaran negara tidak melalui proses legislasi adalah pelanggaran terhadap konstitusi. Jika ada kebijakan dan program nyelonong dengan memanfaatkan anggaran maka kebijakan tersebut hanya kehendak individu pejabat dan tidak ada proses legislasi, maka ini terindikasi melanggar konstitusi dan undang-undang negara," jelas Didik.

Dengan demikian, Didik menegaskan bahwa setiap Rupiah dari anggaran negara harus lewat pembahasan dengan DPR dan berdasarkan asumsi yang disepakati di setiap komisi, ditetapkan oleh Badan Anggaran, lalu disetujui di Sidang Paripurna.

"Inilah proses yang sah dari program pemerintah yang melibatkan alokasi anggaran negara. Tidak bisa lewat keputusan menteri atau SK gubernur," tuturnya.

Selain itu, Didik mengatakan pelaksanaan anggaran dan pengelolaan kas dijalankan oleh Kementerian Keuangan, baik penerimaan, belanja maupun utang. Semua pengelolaan tersebut harus berdasarkan dan diatur oleh undang-undang.

Ia menyebutkan, penempatan dana Rp 200 triliun berpotensi melanggar UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, mencakup Pasal 22, ayat 4, 8 dan 9. Pada Ayat 4, dijelaskan bahwa Menkeu dapat membuka rekening penerimaan (pajak dan PNBP) dan rekening pengeluaran (operasional APBN) di bank umum.

Kemudian pada Ayat 8, rekening pengeluaran diisi dana dari RUKN (Rekening Umum Kas Negara) ditempatkan di Bank Sentral. Namun pada Ayat 9, jumlah dana yang disediakan di rekening dan pengeluaran disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah yang sudah ditetapkan di APBN.

"Pengeluaran anggaran negara untuk program-program yang tidak ditetapkan oleh APBN jelas melanggar Ayat 9. Ayat ini sangat jelas membatasi jumlah dan tujuan penempatan sebatas pada operasional pengeluaran sesuai rencana pemerintah yang sudah di tetapkan dalam APBN, bukan untuk program-program yang seingat di kepala lalu dijalankan," ujar Didik.

Dengan begitu, Didik menilai, tujuan dan jumlah penempatan dana pemerintah di bank umum hanya untuk kepentingan operasional pengeluaran APBN yang jumlah dan penggunaannya sudah ditetapkan DPR, bukan untuk disalurkan oleh bank ke industri melalui skema kredit umum yang lepas dari pembiayaan APBN.

"Rekening tersebut terbatas pada kepentingan operasional APBN, bukan untuk melaksanakan program yang tidak ditetapkan APBN. Penempatan dana Rp 200 triliun rupiah dari anggaran negara secara spontan tersebut juga melanggar Pasal 22 ayat 4 UU 1/2004 tersebut," tandas Didik.*